Saturday, May 10, 2008

Ithrati atau Sunnati?
Hadith "Al-Qur’an wa-Ithrati atau Sunna-ti?"
(Dipetik dari buku “Sunnah Syi’ah Dalam Dialog” oleh al-Marhum Ustadz Husein al-Habsyi,
Yayasan Ats-Tsaqalain, 1991, hlm. 37-49)

Mahasiswa: Kami pernah mendengar satu Hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadits ini, dan hadith tersebut tersebut adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa Sunnah- ti mohon penjelasan?

Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahiul Bait atau lmamiyah yang berbunyi sebagai berikut:
“Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baiiku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat."

Menurut Syi ‘ah lmamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dan kitab-kitab standard kita Ahlus sunnah (Muslim, Kitab Fadhoilus Sohabah Bab Fadhail Ali, Turmudzy Juz 2, ha. 308, Mustadrak al-Hakim Juz 4, ha. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3, hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali) maka kita menganggap hadits ini yang menye¬butkan “Ithrati”, kita Ahlussunnah menganggap¬nya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwa¬yãtkan hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahiul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Mus¬nadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dll. Dan juga di dalam tafsir-tafsir: Ibnu Katsir, Jama ‘ul Ushul dan lain-lain.

Jadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap hadits ini shahih. Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlus Sunnah membenarkannya dan tidak mahu mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati pa¬dahal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,[19] tetapi hanya “kitabullah wa sunnati” yang dipakai.

Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagimu, Kitab Allah dan Sunnahku, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.

Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahwa justru hadits wa sunnati ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma ‘ashodiqin oleh Mu¬hammad At-Tijani As-Samawi).

Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan sebab ada larangan.[20]
Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dari segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.
Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullah Saww dan Al-Qur’an.
Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.[21] Jadi bila Nabi bertindak atau bersabda maka saha¬bat mencatatnya. [22] Tetapi kadangkala tidak Semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara tayammum. [23] Ada sahabat yang tidak tahu bagaiman cara mengusap sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah SAW berbuat demikian. Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an. [24]
Oleh kerana itu Nabi bersabda: “Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Itrahku.” Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum berwujud saat itu).
Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kerta dan tinta sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari [25]. Untuk menuliskan wasiat. Namun Saidina Umar menjawab: “Ya Rasulullah: Cukup bagi kami Al-Qur’an. Dengan susunan kalimat Saidina Umar ini – “yakfina Kitabullah” – dan sama sekali tidak menyebut Sunnah, bererti - kalau kita mahu jujur dan berprasangka baik – Saidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan.
Jadi Saidina Umar bukan menolak Sunnah – walaupun ada orang Syi’ah yang radikal mengatakan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah – tetapi sebahagian lain ,mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah sehingga dia bilang “cukup al-Qur’an”, kemudian sunnahnya bagaimana?
Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak bisa lagi yang memimpin tidak “allround”(menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Kerana itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahawa – waktu itu sunnah belum terbukukan - Jika umpama sunnah waktu itu sudah (terbukukan) maka kita bisa menghukum Saidina Umar kafir, kerana dia menolak sunnah.Oleh kerana sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni al-Qur’an.
Alasan ialah ketika Nabi SAW masih hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya pada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan al-Qur’an. [26].
Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu.
Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww wa¬fat. Tepatnya di zaman bani Abbas.
Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sa¬habat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.
Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaltu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak de¬ngan alasan mereka itu tetap mengucapkan sya¬hadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awal¬nya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhirnya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan diserbulah Ahli Riddah (yang tidak mau membayar zakat) itu
Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu su¬dah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini ti dak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al-Qur¬‘an: “Yaitu peristiwa Tsa ‘labah.”
Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sahabat yang tidak tahu tentang masa¬lah Tsa’Iabah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal ini, menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.
OIeh karena itu hadits yang menyebut “wa sunnati” itu menurut mereka tidak bisa dipastikan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, nisca¬ya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak be¬rani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad karena sunnah tidak ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangku¬tan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-be¬nar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?
Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang perta¬ma membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah teijadi¬nya peperangan Jamal, perang Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperangan-peperangan dan peristiwa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:
Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih pa¬rah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits me¬reka tidak dipakai.
Jadi hadits “Wa sunnati” menurut Imainiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “Wa ithrati, hal ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlussunnah maupun oleh mereka kaum Syi ‘ah.
Dalam hadits “Wa itrati” Nabi Saww seakan¬akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan atau kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu manda¬torisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.”
Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah diang¬gap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda:
“Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya. “[27]
Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman ber¬pegang teguh kepada Itrati. Ahlussunnah juga meriwayatkan “Wa itrati” dan Syi'ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits “wa itrati”, jadi kita menemukan titik temu dengan Syi 'ah dalam ma¬salah ini walaupun antara kita dan mereka mem¬punyai jalur masing-masing. Adapun “wa sun-nati!" hanya ada pada jalur kita dan itupun hanya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi 'ah menolaknya dengan alasan-alasan sebagaimana yang te¬Iah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.
Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits “Sunnati” dan “Itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dari Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “Sunnati” atau “Itrati”?
Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi 'ah itu su¬dah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “Wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh Nabi Se¬bab Nabi tidak akan mungkin meninggatkan se¬suatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.
Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang kon¬krit yaitu A1-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun yang buta huruf tidak bisa baca A1-Qur’an, ke¬mudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memer¬lukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mere¬ka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. Karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrlt, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi Beliau meninggalkan Al-Qur’an.[28]
Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi mening¬galkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiat¬kan Kitabullah (tanpa wa sunnati)! Saya kira ri¬wayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ah¬lussunnah.
Nota kaki:
19)Jalur (sanad) hadits kitabullah wa ithrati -- mencapai 60 jalur ebih dan sudah disepakati keshahihannya oleh Ulama-ulama AhIi Sunnah wal Jamaah. Jbnu Hajar berkata dalam buku Showaiq Al¬-Muhriqah:“Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak Jalur yang dating dari 20 sahabat. Sekali Beliau SAWW mengucapkan di Padang Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit yang membawanya wafat, ketika pulang dan Thaif semuanya tidak ada pertentangan saW sama lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Qur’an dan A!-lthrah. Adapun Hadits wa sunnati hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga Ulama di antaranya Imam Malik dalam Muwa:hanya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya dari Ibnu Hisyam dalam buku Sirahnya. Untuk lebih jelasnya lihat buku Hadits Tsaqalain yang diterbitkan oleh kelompok pendekatan antar Madzhab “Dar At Taqrib”.
20)Nabi bersabda: “Janganlah kalian menulis apa-apa kuucapkan selain Al-Quran, maka a harus menghapusnya. (Sunan Ad¬Darimy Muslim — Ahmad - Turmudzy - dan Nasa’i - dan Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri.
21)Kitab Li Akuna Ma’ashshodiqin oleh: Muhammad At-Tijani As-Samawi.
22)Larangan penuliaan itu dianggap oleh sementara golongan sebagai suatu hal yang tidak tepat, mereka meragukan keshahihan hadits larangan Itu, sebab telah diriwayatkan bahwa Nabi justeru memerintahkan penulisan hadits-haditsnya dan sahabat-sahabat pun mencatat semua yang beliau ucapkan. Bukhari meriwayatkan maka datang seorang diri penduduk Yaman dan berkata: Tuliskan buatku ya Rasulullah! Nabi bersabda: "(Wahai sahabatku) tuliskan buat si Pulan itu (Kitabu Ilm bab Kitabatul Ilm Juz J hal. 23). Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, saya berkata: “Wahai Nabi apakah semua yang kau ucapkan perlu saya tulis? Nabi menjawab: “Ya”. Saya berkata, dalam keadaan ridha dan marah? Nabi menjawab: “Ya”, karena sesungguhnya aku tidak rnengucapkan kecuali yang benar.” (Sunan Turrnudzy Juz 5 hal. 39 kitabul urn bab Maja’afi arrukhsoh fihi).
23)Bukhan Kitabut Tayammum Juz 1 hal. 70, Al-Muhalla, Ibnu Hazm Juz 1 hal 339 cet. Matba’ul Imam (Mesir).

24)Nabi setiap turun atasnya ayat-ayat Al-Quran, memerintahkan pads para penulis wahyu utnutk mencatatnya dan disimpan di rumah beliau setelah diadakan pengoreksian dengan mencocokkan antara penulisan dengan bacaannya.
25)Diriwayatkan dari lbnu Abbas RA ía berkata: Ketika Nabi sakit keras beliau berkata “Berilah aku selembar kertas aku akan tulis wasiat niscaya kamu tidak akan sesat setelahku nanti, Umar berkata Nabi terlalu parah sakitnya sehingga tidak terkontrol ucapannya dan kits sudah punya Kitabutlah Al-Qur’an — cukup bagi kami Kitabullah, lalu ributlah penghuni kamar beliau sehingga Beliau mengusir mereka dan berkata: “Pergilah kalian dariku, tidak sepantasnys tenjadi keributan di hadapanku.” Ibnu Abbas berkomentar: “Bencana terbesar adalah terhalangnya Nabi dari penulisan wasiat itu. (Bukhari Kitabul ilm bab Kitabatul ilm Juz I hal. 33).
26)Kitab Li Akuna Ma’ashodiqin, oleh: Muh. At-Tijani As-Samawi.
27)Mustadrok Al-Hakim Juz 3 hal. 126 dan a mengatakan bahwa hadits itu shahih. Tarikh Baghdad oleh Al-Kathib A1-Baghdadi Juz 4 hal. 34 mengatakan bahwa hadits itu shahih. Ushul Ghobah oleh lbnu Al-Atsir Juz 4 hal. 22, Tadzibudtahdzib oleh Ibnu Hajar juz 7 hal. 427.
28)Dalam shahih Bukhari ada sebuah hadits riwayat dari Thalhah bin Masyraf yang mengatakan bahwa beliau bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa: “Apakah Nabi pernah berwasiat? Abdullah bin Abi Aufa menjawab: ~Tidak”. Kemudian Thalhah bertanya:Bagaimana beliau menyuruh orang lain agar berwasiat sedangkan beliau sendiri tidak melakukannya? Dijawab oleh Abdullah: Beliau mewasiatkan Kitabullah.’ Bukhari Juz 3 hal. 168.

Munajat Para Pecinta Allah

ﺍﻠﺭﺤﻤﻥﺍﻠﺭﺤﻴﻡ ﺍﻠﻠﻪ ﺒﺴﻡ

“Dengan Asma Allah yang Mahakasih dan Mahasayang”

  1. Ilahi

Apakah orang yang telah mencicipi manisnya cinta-Mu akan menginginkan pengganti selain-Mu

Apakah orang yang t’lah bersanding di samping-Mu akan mencari penukar selain-Mu

  1. Ilahi

jadikan kami di antara orang yang kaupilih untuk pendamping dan kekasih-Mu

yang Kau ikhlaskan untuk memperoleh cinta dan kasih-Mu

yang Kau rindukan untuk datang menemui-Mu

yang Kau ridokan (hatinya) untuk menerima qadha-Mu

yang Kau anugerahkan (kebahagiaan) untuk melihat wajah-Mu

yang Kaulimpahkan keridoan-Mu

yang Kaulindungi dari pengusiran dan kebencian-Mu

yang Kaupersiapkan baginya kedudukan siddiq di samping-Mu

yang Kauistimewakan dengan makrifat-Mu

yang Kauarahkan untuk mengabdi-Mu

yang Kautenggelamkan hatinya dalam iradah-Mu

yang Kaupilih untuk menyaksikan-Mu

yang Kaukosongkan dirinya untuk-Mu

yang Kau bersihkan hatinya untuk (diisi) cinta-Mu

yang Kaubangkitkan hasratnya akan karunia-Mu

yang Kauilhamkan padanya mengingat-Mu

yang Kaudorong padanya mensyukuri-Mu

yang Kausibukkan dengan ketaatan pada-Mu

yang Kaujadikan dari makhluk-Mu yang saleh

yang Kaupilih untuk bermunajat pada-Mu

yang Kauputuskan daripadanya segala sesuatu yang memutuskan hubungan dengan-Mu

  1. Ya Allah

Jadikan kami di antara orang-orang yang kedambaannya adalah mencintai dan merindukan-Mu nasibnya hanya merintih dan menangis

Dahi-dahi mereka sujud karena kebesaran-Mu

Mata-mata mereka terjaga dalam mengabdi-Mu

Air mata mereka mengalir karena takut pada-Mu

Hati-hati mereka terikat pada cinta-Mu

Kalbu-kalbu mereka terpesona dengan kehebatan-Mu

Wahai yang cahaya kesucian-Nya bersinar dalam pandangan para pecinta-Nya

Wahai yang kesucian wajah-Nya membahagiakan hati pada pengenal-Nya

Wahai kejaran kalbu para perindu

Wahai tujuan cita para pecinta

Aku memohonkan cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu dan cinta amal yang membawa aku ke samping-Mu

Jadikan Engkau lebih aku cintai dari pada selain-Mu

Jadikan cintaku Pada-Mu membimbingku pada rido-Mu

kerinduan pada-Mu mencegahku dari maksiat atas-Mu

Anugerahkan diriku dengan tatapan kasih dan sayang

Jangan palingkan wajah-Mu dariku

Jadikan aku diantara penerima anugerah dan karunia-Mu

Wahai pemberi ijabah

Wahai yang paling pengasih dari segala yang mengasihi

Ya arhamar rahimin.

*Sahifah sajjadiyah Ali zainal Abidin

Saturday, April 21, 2007

K.H. Jalaluddin Rakhmat



Aku Lebih Baik Dari Dia

Suatu hari, Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as, "Hai Musa, bila nanti kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih baik daripada dia." Nabi Musa as lalu pergi ke mana-mana; ke jalanan, pasar, dan tempat-tempat ibadat. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi Musa, tetapi Nabi Musa selalu menemukan ada hal pada diri orang itu yang lebih baik dari dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata, "Aku lebih baik dari dia."
Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada Nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak, misalnya, bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing kudisan. Nabi Musa berpikir, "Mungkin sebaiknya aku pergi membawa dia." Ia pun lalu mengikat leher anjing itu dengan tali. Namun ketika sampai ke suatu tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu.
Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah SWT, Tuhan bertanya, "Ya Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kaubawa?" Nabi Musa menjawab, "Tuhanku, aku tidak menemukan seseorang pun yang aku lebih baik darinya." Tuhan lalu berfirman, "Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepadaku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian."

Kata ana khairun minhu atau "Aku lebih baik dari dia" pertama kali diucapkan oleh Iblis untuk menunjukkan ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud kepada Adam as tapi Iblis tidak mau. Ia beralasan, "Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah." Takabur yang dilakukan oleh Iblis pertama kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan.

Menurut Al-Ghazali, di antara beberapa faktor yang menyebabkan orang menjadi takabur dan berfikir, "Aku lebih baik dari dia," adalah nasab. Iblis adalah tokoh takabur karena nasab yang paling awal. Kebanggaan atau kesombongan karena nasab ini pernah menjadi satu sistem dalam masyarakat feodal. Feodalisme adalah sistem kemasyarakatan yang membagi masyarakat berdasarkan keturunannya. Sebagian masyarakat disebut berdarah biru dan sebagian lagi berdarah merah.

Ada sebuah buku yang dengan secara terperinci mengkritik sebagian sayyid atau keturunan Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih utama dari orang yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika ada orang bukan sayyid yang beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan tetap lebih rendah dari seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis buku tersebut, seorang sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang sayyid yang ahmaq atau tolol. Dalam salah satu buku itu, ia memberikan contoh sayyid yang berpikiran seperti itu sebagai orang yang takabur karena nasabnya. Ternyata, penulis buku itu pun adalah seorang sayyid. Namanya Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.#

Penulis itu mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia pernah menangis terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani mendekatinya dan bertanya, "Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat seperti ini? Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?" Lalu Imam dengan marah menjawab, "Jangan sebut-sebut di hadapanku ibuku dan kakekku, karena Allah SWT akan memberikan surga kepada siapa saja yang taat kepada-Nya, walaupun ia adalah seorang budak dari Afrika. Dan Allah akan memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid dari bangsa Quraisy."

Berbangga sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu perbuatan takabur, apalagi berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah saw. Orang yang berbangga karena keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah seperti orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh takabur. Orang kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke neraka.

Kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab. Tuhan berfirman, "Innâ akramakum ‘indallâhi atqâkum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa." (QS. Al-Hujrat 13 ) Pernah pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah saw dengan membanggakan nasabnya. Di kalangan masyarakat Arab waktu itu, kebanggaan suatu nasab didasarkan pada jumlah jasa yang dilakukan nasab itu. Karena itu, mereka sering menyebut-nyebut jasa orang tua mereka. Orang itu memperkenalkan dirinya dengan menyebut silsilah orang tuanya sampai keturunan kesembilan. Rasulullah saw hanya menjawab pendek, "Wa anta ‘âsyiruhum fin nâr. Dan engkau, keturunan yang kesepuluh, di neraka." Ia masuk neraka karena ketakaburannya.

Ketika berhadapan dengan orang yang takabur karena nasabnya, yang membanggakan kehebatan orang tuanya, Sayidina Ali berkata, "Ucapan kamu benar. Tapi alangkah jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu."

Al-Ghazali membagi takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan agama dan kedua, takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, yang banyak takabur karena ilmu adalah para ilmuwan, filusuf, dan ulama. Apa tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya? Ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia merasa dirinya paling pintar dan tidak memerlukan bantuan orang lain.

Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua orang yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya luar biasa pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang lain lulus dengan nilai pas-pasan. Dua tahun kemudian, diselidiki nasib kedua orang itu. Orang yang pintar itu ternyata menganggur sementara orang yang tidak pintar telah menjadi manajer di sebuah perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata orang pintar itu tidak tahan bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merasa dirinya pintar sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain.

Takabur yang kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal. Jika seseorang banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah hadis diriwayatkan seseorang yang datang ke majelis Nabi. Orang itu dipuji para sahabat karena kebagusan ibadatnya. Tapi Nabi mengatakan, "Aku melihat bekas tamparan setan di wajahnya." Nabi kemudian menyuruh sahabat membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik di antara orang lain. Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda, "Jika ada seseorang yang berkata, ‘Manusia ini semuanya sudah rusak,’(dan ia merasa bahwa hanya dirinya yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang paling rusak."

Ada orang yang merasa amalnya sudah bagus sehingga dia merendahkan orang lain. Ada juga orang yang merasa dirinya amat saleh dan segera menganggap rendah orang lain yang tidak salat berjemaah di masjid seperti dirinya. Ia pun mengecam orang lain yang salatnya dijamak. Orang-orang seperti itu termasuk orang yang takabur karena amalnya.

Sayidina Ali mengajarkan kepada para pengikutnya, "Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari amalku." Setiap orang pasti ada kelebihannya. Kita juga punya kelebihan, tetapi hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia daripada orang lain. Begitu kita merasa diri kita lebih mulia dari orang lain dan ingin diperlakukan sebagai orang mulia secara diskriminatif, kita sudah jatuh kepada takabur. Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal.

Takabur bagian kedua menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena nasab, seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena harta kekayaan. Ketiga, karena kekuasaan. Keempat, karena kecantikan. Kelima, karena banyaknya anak buah dan pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya diderita oleh para ulama.

Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi." Kita dapat mengukur hati kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: Ketika Anda masuk ke dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara dengan Anda duduk di tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat yang lebih rendah, apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Ketika Anda akan memilih menantu dan memperhatikan keturunan calon menantu itu, lalu ternyata keturunannya tidak sebanding dengan Anda, apakah Anda merasa berat menerimanya? Apakah Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada Anda? Apakah Anda merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab "ya" untuk salah satu dari pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam takabur.

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda, "Pastilah orang yang takabur itu punya cacat dalam dirinya yang ia sembunyikan." Hadis itu saya kira sangat modern. Menurut Psikologi mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya adalah orang yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan mereka berusaha menutupinya.

Kita dapat mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap tawadhu. Tidak ada obat bagi takabur selain bersikap rendah hati. Rasulullah saw bersabda, "Jika kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap tawadhu, maka hendaklah kamu bersikap lebih tawadhu lagi kepada mereka. Dan apabila kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap takabur, maka hendaklah kamu bersikap lebih takabur lagi kepada mereka."

(Ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Pengajian Ahad, tanggal 5 September 1999, di Masjid Al-Munawwarah, Bandung. Dengan beberapa perubahan redaksional, ceramah ini ditranskrip oleh Ilman Fauzi R.)

Friday, April 20, 2007

Pandangan Akademis Mengenai Syi'ah

Pandangan Akademis Mengenai Syi'ah
Dalam kenyataan, antara ahlu Syiah dengan ahlu Sunnah, lebih banyak persamaannya ketimbang perbedaannya. Sedikit perbedaan hanya menyangkut hal yang tidak prinsipil. Misalnya, mengenai imamah (kepemimpinan) mau pun dalam hal fiqhiyah, perbedaan dalam hal furu'iyah (ranting), bukan pokok. Karena itu, Syiah tidak bisa disebut sekte (diluar Islam, menjadi agama tersendiri).Untuk memahami Syiah, harus mengetahui akar sejarahnya. Secara sederhana, dalam bahasa Arab, syiah berarti golongan, kelompok, atau partai. Dalam pengertian istilahi, mengacu kepada kelompok atau golongan yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Terutama setelah terjadinya peristiwa politik pada masa sahabat. Mungkin ironis, kelahiran Syiah terkait kepada persoalan politik ketimbang persoalan keagamaan. Jadi umat Islam sejak awalnya bertikai karena persoalan politik bukan persoalan yang murni bersifat keagamaan. Banyak orang berpendapat bahwa ini sifat dari politik atau kekuasaan yang memang panas. Membuat orang cenderung tidak terkendali dan terpecah.

Awal Kelahiran Syi'ah
Kelahiran Syiah berkaitan dengan pertikaian antara para pendukung Ali bin Abi Thalib dengan Utsman bin Affan. Pada masa khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, dikalangan umat Islam sudah mulai terjadi perpecahan dan pertikaian, terutama disebabkan Khalifah Utsman ini dipandang terlalu lemah. Saya (penulis) tidak begitu yakin apakah Khalifah Utsman sengaja melakukan praktik nepotisme. Tapi saya kira hal ini lebih disebabkan Khalifah Utsman seorang yang sangat wara', 'alim, dalam kepemimpinannya lurus. Kelurusan dan keikhlasan dia dimanfaatkan kerabatnya untuk merebut posisi kekuasaan yang ada. Dan inilah yang menimbulkan protes dari Muslim lain. Sehingga akhirnya terjadilah perlawanan dan penentangan terhadap Khalifah Utsman, kemudian Khalifah Utsman dikepung dirumahnya dan beliau akhirnya dibunuh.Saat itu juga Ali bin Abi Thalib dikukuhkan oleh sebagian sahabat sebagai khalifah keempat. Pengangkatan dan pembaiatan Ali bin Abi Thalib ditentang oleh dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Siti Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., dengan alasan belum waktunya Ali diangkat sebagai khalifah. Kelompok kedua dari keluarga Umayyah, dipimpin oleh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. Putra Abi Sufyan yang dulu pernah menjadi musuh Rasulullah s.a.w. Mu'awiyyah bin Abi Sufyan berasal dari keluarga Utsman yang secara umum disebut keluarga Umayyah. Sehingga pada akhirnya untuk pertama kali, terjadilah peperangan diantara pendukung Ali (yang kemudian dikenal dengan Syiah) dengan orang-orang yang dibawah pimpinan Siti Aisyah. Siti Aisyah memimpin perang Jamal. Beliau mengendarai unta. Diantara pendukungnya, termasuk Thalhah dan Zubair bin Awwan. Siti Aisyah dikalahkan oleh Ali bin Abi Thalib dan dikembalikan ke rumahnya, tidak diapa-apakan.Tapi yang lebih sengit lagi adalah peperangan diantara para pendukung Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. Puncaknya pada perang Siffin. Para pendukung Ali hampir menang tapi dengan tipu muslihat tertentu, para pendukung Mu'awiyyah mengangkat tahkim (tanda perdamaian) sehingga pendukung Ali tertipu sehingga Khalifah Ali dalam sebuah pertemuan (kesepakatan) diturunkan dan pada saat yang sama Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dikukuhkan menjadi khalifah baru. Inilah masa awal bangkitnya sebuah dinasti, yaitu dinasti Umayyah.

Perubahan Sistem Politik Islam
Pada waktu itu pulalah terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (sistem pemilihan, siapa yang paling 'alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu'awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap dipakai tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi). Jadi, Mu'awiyyah lebih hebat lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sangat dekat dengan Rasulullah s.a.w. hanya menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu'awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh. Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. Mereka kemudian menjadi kelompok yang kuat, yang dikenal dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling menonjol dan khas sebetulnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara aliran Syiah dengan Sunnah adalah dalam bidang pemikiran politik. Hak kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Jadi imam berbeda-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berbeda-beda, ada Syiah moderat (mayoritas), ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu'awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan adalah hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. karena sebetulnya wahyu dipesankan oleh Allah melalui Jibril untuk disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada Muhammad s.a.w. Yang ektrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As'ariyah, atau Syiah Imamiyah, yaitu imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja'far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin Ja'far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang ditunggu.Dalam tradisi Syiah, imam mempunyai posisi politik yang tinggi, terutama sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan hanya sebagai orang yang memiliki otoritas dalam keagamaan, imam shalat, tetapi sekaligus sebagai pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan adalah milik imam. Dan imam adalah orang yang ma'shum (bebas dari dosa).
Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih. Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini sebetulnya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan mengikat. Atau lebih dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul 'Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berbeda dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya memberikan pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan. Sejauh yang dijelaskan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan pertikaian politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah adalah soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sangat sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam. Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah setelah RII 1979 merasa frustrasi karena umat Islam tidak mau bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia muncul gagasan, tirulah konsep imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an muncul konsep atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian kalangan ahlu sunnah wal jamaah mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Tapi harus segera dikatakan, kalau ada gerakan Indonesia yang memakai konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah adalah konsep kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dipahami, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia. Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and political leadership. Imam, menurut Sunni tidak memainkan peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.
Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan. Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu'tazilah. Suatu aliran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di abad ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama rasional. Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa, tidak menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak perlu berupaya. Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu'tazilah.Jadi, Mu'tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti pandangan itu. Tentu saja ada perbedaan seperti itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa saja yang dipandang ma'shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma'shum hanya Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menganggap para imamnya yang duabelas ma'shum. Dalam pandangan orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih, karena melalui kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabannya. Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.

Persamaan Dalam Tasawuf
Di dalam bidang tasawuf saya malah melihat tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi'i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya shalat, harus dicari asrar shalat. Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan fungsi, apakah makna terdalam dari shalat?
Buya Hamka sangat menekankan tasawuf 'amali dan tasawuf akhlaki. Jadi kalau baca Tasawuf Modern, itu adalah tasawuf 'amali, tasawuf akhlaki.Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf 'amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu 'Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf 'amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf 'amali.Di dalam bidang fiqih, sesungguhnya tidak banyak perbedaan. Yang sering muncul, katanya, dalam Syiah aliran tertentu, mengizinkan kawin mut'ah. Tapi secara umum orang Syiah juga menolak. Dalam fiqih Ja'fari memberi peluang untuk kawin mut'ah. Tetapi kalau saya lihat, syarat-syaratnya sangat berat, tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Hanya dalam kasus-kasus yang sangat istimewa saja kawin mut'ah terjadi.

Keterangan: Ditulis oleh Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Mubaligh. Naskah ini berasal dari Majelis Pengajian Ahad Pagi, pada tanggal 3 Juni 2001 di Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta.